Berita

Eks Pimpinan KPK Kritik SP3 Kasus Tambang Rp 2,7 T, Minta Dewas KPK Turun Tangan

Advertisement

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengkritik keras keputusan lembaga antirasuah yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas kasus dugaan korupsi terkait izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Saut menilai KPK tidak menjalankan prinsip transparansi dalam penerbitan SP3 kasus yang merugikan negara senilai Rp 2,7 triliun tersebut.

KPK Dianggap Tidak Transparan

“Pemberantasan korupsi kan syaratnya harus transparan, apa yang Anda lakukan publik harus tahu apalagi sudah penyidikannya. Kenapa baru sekarang ini aja sudah jadi pertanyaan,” ujar Saut saat dihubungi pada Senin (29/12/2025).

Menurut Saut, KPK seharusnya terbuka dalam memberikan penjelasan kepada publik mengenai alasan penghentian penyidikan suatu perkara. Ia menekankan pentingnya akuntabilitas dalam setiap keputusan yang diambil oleh pimpinan KPK.

“Bagaimana itu diputuskan untuk berhenti kan harus juga dipertanyakan, apakah sudah rapat dulu, bagaimana rapatnya apa yang diputuskan berapa skornya. Oke semua pimpinan memutuskan saat itu, tapi itu pun tidak berhenti di situ,” jelas Saut.

Dorongan untuk Dewas KPK

Lebih lanjut, Saut mendorong Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk bersikap proaktif dalam menelaah keputusan SP3 kasus ini. Ia berpendapat bahwa Dewas KPK memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja KPK, termasuk terkait penghentian perkara korupsi izin tambang senilai Rp 2,7 triliun tersebut.

“Jadi kalau kita katakan saat ini kemudian bagaimana Dewas bisa menanggungjawabi ini, ini tugas mereka. Dewas kan kerjanya salah satunya mengawasi kinerja dan kalau kita bicara kinerja apakah Dewas harus masuk ke detail-detailnya, ya harus detail, harus paham,” tegas Saut.

Ia menambahkan, “Jadi artinya saya challenge Dewas untuk melihat supaya nggak jadi omon-omon bener pemberantasan korupsi ini.”

Alasan KPK Terbitkan SP3

Sebelumnya, KPK menerbitkan SP3 kasus dugaan korupsi terkait izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang merugikan negara Rp 2,7 triliun. Penerbitan SP3 ini telah dilakukan sejak Desember 2024.

Advertisement

Juru Bicara KPK, Budi, membenarkan penerbitan SP3 tersebut. Ia menyatakan bahwa keputusan itu diambil karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan, khususnya terkait Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal 3-nya (UU Tipikor), yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” sebut Budi dalam keterangannya pada Minggu (28/12).

Selain itu, faktor waktu juga menjadi pertimbangan dalam penghentian kasus ini. Terutama terkait pasal suap yang memiliki tempus perkara pada tahun 2009, sehingga berpotensi kedaluwarsa.

“Kemudian, dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya,” imbuhnya.

Budi menegaskan bahwa penerbitan SP3 ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait, mengingat setiap proses hukum harus dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

“Artinya, pemberian SP3 ini untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada para pihak terkait karena setiap proses hukum harus sesuai dengan norma-norma hukum,” tutur dia.

Advertisement